Suara.com – “Fenomena perselingkuhan yang marak terbongkar di media sosial tak hanya memicu drama dan sensasi. Di balik itu, terdapat sisi kelam yang perlu dikritisi: bagaimana perselingkuhan dijadikan alat untuk menjatuhkan, mempermalukan, dan melanggengkan budaya patriarki”.
Ipar Adalah Maut, salah satu film betema keluarga yang mengangkat isu perselingkuhan. Film yang diadopsi dari kisah nyata ini disutradarai Hanung Baramantyo, tayang di seluruh bioskop tanah air pada 13 Juni 2024. Sejak dirilis, film ini mendapatkan sambutan antusias dari masyarakat, terhitung selama 12 hari penayangannya sudah ditonton 2,6 juta.
Film ini menceritakan soal kehadiran orang ketiga di pernikahan Aris yang diperankan Devan Mahendra, dan Nisa yang dialokoni oleh Michelle Ziudith. Sebagai suami Aris bekerja sebagai dosen yang mengajar sosiologi keluarga, sementara Nisa seorang pengusaha toko kue.
Pernikahan mereka awalnya digambarkan harmonis, namun malapetaka itu tiba, setelah kehadiran Rani yang diperankan Davina Karamoy sebagai adik Nisa. Rani harus tinggal bersama Nisa dan Aris karena menempuh pendidikan di salah satu universitas di Semarang.
Tinggal dalam satu atap, percikan asmara tumbuh di antara Rani dan Aris. Seiring berjalannya waktu, keduanya pun menjalin hubungan terlarang di belakang Nisa. Hubungan terlarang itulah yang akhirnya menghancurkan rumah tangga Aris dan Nisa.
Sebelum Ipar Adalah Maut, pada 2022, Indonesia juga memiliki drama series yang mengangkat isu yang sama, yaitu Layangan Putus. Meski berbeda format, drama series Layangan Putus juga mendapatkan antusias yang tinggi dari masyarakat. Belakangan diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama dan menarik sekitar 1 juta penonton.
Tingginya antusias penonton kedua film ini tak bisa dipisahkan dari cerita awalnya yang diangkat dari postingan viral di media sosial. Berdasarkan penelusuran Suara.com, Ipar Adalah Maut diangkat dari postingan konten kreator Elizafisa. Dia mengatakan cerita yang diunggahnya kisah nyata dari seseorang pengikutnya.
Layang Putus pun demikian, diangkat dari novel karya Mommy ASF alias Eca Prasetya. Mommy ASF juga mengaku cerita yang dituliskannya terinspirasi dari cerita pengguna media sosial Facebook.
Sadfishing
Diakui atau tidak, kehadiran media sosial belakangan ini menjadi ruang baru bagi masyarakat untuk mengekspresikan suana hatinya. Bahkan untuk mengetahui situasi emosi seseorang dapat ditebak dari postingannya di media sosial.
Untuk menjelaskan keterkaitan isu perselingkuhan di media sosial, terdapat istilah yang disebut sadfishing. Istilah ini menggambarkan situasi seseorang yang mengutarakan kesedihannya ke media sosial untuk mendapatkan empati dari pengguna lain.
Situasi itu dijelaskan dalam jurnal berjudul ‘Fenomena Sadfishing pada Hastag #Pelakor di Media Sosial Tiktok’ yang ditulis oleh Citra Eka Putri dan kawan-kawan dari Institut Bisnis dan Informatika (IBI) Koesgoro 1957. Jurnal ini menjelaskan, sadfishing menjadi pendorong bagi pengguna media sosial untuk memproduksi konten yang mengandung kesedihan guna mendapatkan dukungan dan simpati (2023). Semakin tinggi nilai privasi yang diposting, semakin tinggi minat pengguna lain.
Dari penjelasan ini, seseorang ketika menjadi korban perselingkuhan berada dalam situasi yang berat, sehingga membutuhkan dukungan. Media sosial sebagai ruang berekspresi baru menjadi salah satu alternatif untuk mendapatkan dukungan. Di sisi lain, mengunggah isu perselingkuhan ke media sosial juga bisa bertujuan untuk menghukum para pelaku.
Pengamat media sosial Enda Nasution mengatakan, sebenarnya perselingkuhan dapat dipidana karena telah diatur dalam peundang-undangan tentang perzinahan.
Pada beberapa kasus, langkah hukum masih jarang digunakan karena berbagai pertimbangan. Agar pasangan atau perusak rumah tangga orang tetap mendapatkan penghukuman, media sosial menjadi pilihan.
“Jadi spil ke media sosial ini adalah sebagai bentuk sanksi sosial di mana sang pelaku bisa kemudian dihujat beramai-ramai oleh netizen,” kata Enda kepada Suara.com, Rabu (26/6/2024).
Penghukuman di media sosial tidak hanya berhenti pada penghujatan, tapi biasanya warganet turut mencari latar belakang si pelaku seperti pekerjaan dan kantornya. Tak jarang, selain mendapatkan hujatan, para pelaku perselingkuhan kariernya di kehidupan nyata turut terdampak.
Waspadai Dampak
Namun, terdapat hal yang perlu diwaspadai ketika korban perselingkuhan mengungah pengalamannya ke media sosial. Dosen Program Studi Psikologi Universitas Paramadina Fatchiah Kertamuda berpandangan media sosial merupakan ruang yang tidak terkendali. Setiap pengguna dapat memberikan komentar apa saja sesuai pandangannya.
Ketika seseorang mengunggah kasus perselingkuhan pasanganya, tak melulu mendapatkan dukungan sesuai yang diharapkan. Misalnya, kata Fatchiah, terdapat 20 pengguna yang berkomentar. Dari 20 komentar, terdapat lima pengguna yang memberikan pesan negatif atau menyalahkan kembali si korban perselingkuhan. Perlu untuk dicatat, tidak semua orang bisa menyaring apa yang harus diterima atau diabaikan.
“Tetapi sebagai manusia, apalagi itu nempel terus di kolom komentar media sosial, dia baca berulang-berulang, akhirnya ada yang termakan,” kata Fatchiah kepada Suara.com.
Hal lain yang perlu diperhatikan, dampak jangka panjang dari konten yang diunggah. Menurutnya, media sosial memiliki kemampuan merekam sepanjang waktu. Meski sudah dihapus, tidak menutup kemungkian pengguna lain sudah menyebarkannya secara luas dan terus menerus.
Bagi korban perselingkuhan yang memiliki anak di bawa umur hal ini harus diantipasi. Sebab tidak menutup kemungkinan saat si anak bisa mengakses media sosial, menemukan isu perselingkuhan orang tuanya.
Ketika itu terjadi, dikhawatirkan berdampak ke mental sang anak. Sebagai orang tua, menurut Fatchiah, luka atau kesalahan yang dialami cukuplah berhenti pada ayah dan ibunya, tidak harus turut ditanggung sang anak.
Oleh karenanya dibutuhkan pendampingan kepada para korban perselingkuhan agar tidak mengambil tindakan yang berpotensi memperburuk keadannya. Pendampinangan itu, kata Fatchiah, bisa dari orang terdekat seperti keluarga, sahabat, atau kalangan profesional seperti psikolog dan psikiater.
Namun, terpenting kata Fatchiah adalah komitmen dalam pernikahan. Hubungan pernikahan ditegaskannya, ikatan sakral yang tercipta dari janji suci dua manusia dalam agama.
“Kalau sudah komitmen saya yakin perselingkuhan tidak akan terjadi,” katanya.
Langgengkan Patriarki
Secara sosial, isu persilingkuhan di media sosial dinilai berpotensi melanggengkan partriarki. Hal itu terjadi ketika perselingkuhan yang melibatkan laki-laki terikat pernihakan dengan perempuan yang disebut sebagai orang ketiga.
Di media sosial, terdapat istilah ‘pelakor’ atau perebut lelaki orang yang ditujukan kepada perempuan yang menjalin hubungan dengan pria bersuami. Namun demikan, terdapat juga istilah ‘pebinor’ atau perebut bini orang bagi laki-laki yang menjalin hubungan dengan perempuan terikat pernikahan. Disadari atau tidak, masyarakat lebih familiar dengan ‘pelakor’ dibanding ‘pebinor.’
Istilah pelakor banyak ditemui di media sosial yang memuat konten tentang perselingkuhan. Biasanya berupa video yang menampilkan aksi pelabrakan kepada si perempuan yang disebut perebut, atau konten yang menampilkan wajah si perempuan perebut, beserta identitasnya.
Dalam budaya patriarki perempuan dianggap sebagai kelas kedua. Nilai-nilai tentang perempuan dibangun dari sudut pandang laki-laki. Nilai itulah yang menjadi rujukan pantas atau tidaknya perilaku dari perempuan. Sehingga ketika perempuan membuat kesalahan, beban yang dipikulnya lebih berat.
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Vincentia Ananda dalam jurnalnya berjudul, ‘Viral Video Pelabarakan Pelakor: Upaya Perlawanan atau Pengukuhan Patriarki?’ menyebutkan, pelabelan pelakor justru menempatkan laki-laki pada situasi yang aman dan tidak bersalah (2018).
Vincentia menjelaskan, dengan istilah pelakor mengaburkan kesalahan yang dilakukan oleh laki-laki. Dampaknya, kesalahan perselingkuhan memberikan gambaran laki-laki baik yang harus tergoda oleh perempuan lain.
Padahal perselingkuhan terjadi karena adanya persetujuan antara laki-laki yang terikat pernikahan dengan perempuan yang disebut sebagai perebut. Akhirnya, kata Vincentia, label pelakor membungkam dan memojokkan perempuan sebagai pelaku kesalahan utama.
Sumber : https://www.suara.com/tag/viral